Artikel Terkait Pengembangan Diri
Ingin Punya Toko Online Sendiri? Daftar Sekarang | Lihat Demo
Dapatkan potongan Rp350.000 menginap di AirBnB : 3 Cara Mudah Booking Kamar di AirBnB | Voucher Diskon AirBnB
PAKAR NUSANTARA, JAKARTA - Pandawa Lima sudah mencapai tingkatan tanpa tanding. Pasca perang Bharata Yuddha yang maha dahsyat, Pandawa Lima memimpin Hastina Pura dengan penuh kedamaian dan kemakmuran. Setelah anak-anak mereka siap mengambil alih pimpinan kerajaan dan tidak ada lagi misi yang harus diemban, maka Pandawa Lima ditambah Drupadi, istri dari si sulung Yudistira, membulatkan tekad untuk mendaki puncak Himalaya. Tujuan para Pandawa tidak lain adalah untuk memasuki kahyangan dengan raga mereka karena Himalaya diyakini merupakan pintu gerbang tempat para dewa menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di muka bumi. Bila impian mereka bisa terwujud, maka hal itu akan menjadi sebuah pencapaian tertinggi bagi seorang manusia di mata para dewata.
Berbekal kekuatan fisik dan kesaktian yang tiada tanding di muka bumi, di tambah kekuatan cinta dari Drupadi, keenam insan itu pun memulai pendakiannya. Di kaki gunung, seekor anjing menghampiri mereka. Serta merta keempat anggota Pandawa mengusir anjing itu kecuali Yudistira yang malah membiarkan anjing itu mengekor di belakangnya. Pendakian pun dimulai. Gunung Himalaya adalah gunung tertinggi di dunia dan memberikan ujian yang benar-benar tangguh bahkan untuk para Pandawa sekali pun. Namun satu hal yang tidak disadari oleh para Pandawa dan Drupadi adalah bahwa ujian yang harus mereka hadapi dalam pendakian itu bukanlah ujian kekuatan fisik namun ujian kekuatan bathin. Drupadi adalah yang pertama menghadapi ujian itu. Perempuan cantik yang sudah menjadi istri Yudistira berpuluh-puluh tahun itu pun tak kuasa melanjutkan pendakian. Ia tewas. Penyebab Drupadi tidak diperkenankan memasuki khanyangan secara raga adalah karena ia tidak pernah dengan tulus mencintai Yudistira. Dengan kecantikan yang dimilikinya, Drupadi lebih mencintai Arjuna dan merasa layak bersanding dengannya.
Si kembar Nakula dan Sadewa adalah yang berikutnya. Dua anggota Pandawa yang sebenarnya merupakan anak dari Dewi Madri dan bukan anak dari Kunti itu pun tewas. Mereka merasa paling terampil dibandingkan anggota Pandawa lainnya. Sayangnya, perasaan itu membuat mereka tidak layak memasuki kahyangan secara raga. Paling tidak, itulah keputusan para dewa selaku dewan juri dalam pendakian ini. Maka tinggalah Arjuna, Bima, Yudistira dan sang anjing. Sejak awal, Arjuna dan Bima memang mengambil start dengan bergerak paling cepat meninggalkan Yudistira jauh di belakang. Arjuna dan Bima memang yang paling sakti dan paling tangguh di antara anggota Pandawa lainnya.
Berbekal kekuatan fisik dan kesaktian yang tiada tanding di muka bumi, di tambah kekuatan cinta dari Drupadi, keenam insan itu pun memulai pendakiannya. Di kaki gunung, seekor anjing menghampiri mereka. Serta merta keempat anggota Pandawa mengusir anjing itu kecuali Yudistira yang malah membiarkan anjing itu mengekor di belakangnya. Pendakian pun dimulai. Gunung Himalaya adalah gunung tertinggi di dunia dan memberikan ujian yang benar-benar tangguh bahkan untuk para Pandawa sekali pun. Namun satu hal yang tidak disadari oleh para Pandawa dan Drupadi adalah bahwa ujian yang harus mereka hadapi dalam pendakian itu bukanlah ujian kekuatan fisik namun ujian kekuatan bathin. Drupadi adalah yang pertama menghadapi ujian itu. Perempuan cantik yang sudah menjadi istri Yudistira berpuluh-puluh tahun itu pun tak kuasa melanjutkan pendakian. Ia tewas. Penyebab Drupadi tidak diperkenankan memasuki khanyangan secara raga adalah karena ia tidak pernah dengan tulus mencintai Yudistira. Dengan kecantikan yang dimilikinya, Drupadi lebih mencintai Arjuna dan merasa layak bersanding dengannya.
Si kembar Nakula dan Sadewa adalah yang berikutnya. Dua anggota Pandawa yang sebenarnya merupakan anak dari Dewi Madri dan bukan anak dari Kunti itu pun tewas. Mereka merasa paling terampil dibandingkan anggota Pandawa lainnya. Sayangnya, perasaan itu membuat mereka tidak layak memasuki kahyangan secara raga. Paling tidak, itulah keputusan para dewa selaku dewan juri dalam pendakian ini. Maka tinggalah Arjuna, Bima, Yudistira dan sang anjing. Sejak awal, Arjuna dan Bima memang mengambil start dengan bergerak paling cepat meninggalkan Yudistira jauh di belakang. Arjuna dan Bima memang yang paling sakti dan paling tangguh di antara anggota Pandawa lainnya.
Namun apa dikata, dewata berkehendak lain. Arjuna tak kuasa melanjutkan pendakian dan ia pun harus tereliminasi. Perasaan sebagai anggota Pandawa yang paling ganteng, paling gagah dan paling sakti membuat Arjuna tidak bisa lulus ke tingkat berikutnya. Tinggalah Bima, Yudistira dan sang anjing. Bima selama ini dikenal sebagai anggota Pandawa yang paling tangguh. Hal ini dibuktikannya dengan menjadi anggota Pandawa yang paling banyak menewaskan Kurawa dalam perang Bharata Yuddha termasuk Duryudana dan Dursasana, dua anggota Kurawa yang tertua dan terkuat. Bahkan, keberhasilan Bima menaklukkan begitu banyak Kurawa telah menyebabkan pamannya yaitu Prabu Destarata yang tak lain adalah ayah dari para Kurawa menaruh dendam kepadanya dan bermaksud menggunakan ilmu Labur Geni agar Bima luluh menjadi abu. Namun untuk urusan mendaki Himalaya, ukuran kelulusan yang digunakan para dewa bukanlah kekuatan dan kesaktian fisik melainkan kemurnian hati. Untuk urusan ini, Bima memang terengah-engah dibandingkan Yudistira yang tiba-tiba saja menjadi begitu kuat. Bima yang sejak awal memimpin di depan, sekarang harus tertatih-tatih menyusul di belakang. Setelah mengerahkan seluruh kemampuannya, akhirnya Bima pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Tinggalah Yudistira dan sang anjing. Yudistira tentu saja bukan manusia tanpa cacat. Keranjingannya terhadap judi telah membuat kerajaan Indraprastha yang dibangun para Pandawa dengan susah payah harus digadaikan kepada para Kurawa dan selanjutnya para Pandawa pun harus diusir ke hutan. Bahkan, akibatnya ketidakmampuannya mengendalikan diri tersebut, Yudistira hampir saja mengakibatkan Drupadi dipermalukan kalau saja dewata tidak turun menolong sehingga Dursasana yang ditugaskan menelanjangi Drupadi di muka umum pun kelelahan karena pakaian itu menjadi tidak ada ujungnya. Namun Yudistira adalah manusia yang tahu apa yang menjadi batu sandungannya untuk bisa lulus ke tingkat berikutnya. Meskipun cerdas dan bijak, ia selalu berkata jujur dan rendah hati sehingga kereta yang ditungganginya tidak pernah menyentuh tanah, kecuali sekali pada saat ia ’menipu’ Dorna dengan mengiyakan kematian Aswatama, putera kesayangan sang mahaguru tersebut. Namun kebohongan Yudistira itu merupakan strategi yang dibuat oleh Batara Kresna agar Dorna patah semangat dan bisa dikalahkan.
Setelah berjuang sendirian ditemani sang anjing, Yudistira pun akhirnya tiba di puncak Himalaya dan diperkenankan masuk ke kahyangan secara raga. Sang anjing yang semula hendak diusir oleh para anggota Pandawa lainnya ternyata adalah Dewa Dharma yang menyamar untuk menilai kemurnian para anggota Pandawa dan Drupadi. Di dalam kahyangan, Yudistira pun diajak berkeliling oleh pemimpin swarga yaitu Batara Indra. Hal pertama yang dilihatnya adalah para Kurawa dan paman mereka, Sangkuni, yang telah banyak menyengsarakan Pandawa di muka bumi sedang bersantaisantai menikmati keindahan kahyangan ditemani para bidadari.
Yudistira pun menyapa mereka dengan tulus. Pemandangan berikutnya sungguh menakjubkan, Yudistira menyaksikan para adik-adiknya sedang disiksa dan dihukum. Padahal selama di dunia mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk membela kebenaran dan keadilan. Namun Yudistira tidak memprotes keputusan dewata tersebut. Bahkan ia menyanggupi tinggal di neraka asalkan bisa mendampingi adik-adiknya. Dewa Indra pun bertanya, mengapa ia tidak mempertanyakan hadiah bagi para Kurawa dan hukuman bagi para Pandawa? Yudistira pun menjawab dengan bijak, bahwa para dewa tentu punya penilaian tersendiri dan sebaik apa pun para Pandawa, pasti ada kesalahan yang pernah mereka lakukan. Sebaliknya, seburuk apa pun para Kurawa, pasti ada kebaikan yang pernah mereka lakukan. Hukuman bagi para Pandawa tidak ada apaapanya dibandingkan kesenangan yang akan mereka rasakan nanti. Sebaliknya, kesenangan para Kurawa tidak ada apaapanya dibandingkan dengan hukuman yang akan mereka alami. Indra pun sangat senang dengan jawaban Yuidistira dan kemudian adik-adiknya dibebaskan serta derajat mereka dinaikkan di hadapan para dewa.
Dari cuplikan bagian akhir kisah Mahabrata ini, kita bisa mempelajari tiga hal. Yang pertama, untuk setiap tingkatan kehidupan, manusia mengalami ujian. Bagi anak sekolah dasar, ada ujian untuk masuk ke sekolah menengah. Bagi karyawan perusahaan, ada ujian untuk dipromosikan. Demikian pula dalam dimensi-dimensi kehidupan. Ada ujian untuk menjadi orang sukses, ada ujian untuk menjadi orang terkenal, dan ada pula ujian untuk menjadi orang bijak. Untuk pembelajaran yang pertama ini semua anggota Pandawa menyadarinya. Mereka paham betul bahwa untuk bisa masuk ke kahyangan secara raga, mereka harus menaklukkan puncak himalaya. Yang kedua, setiap orang menghadapi dimensi ujian mereka masing-masing. Bagi seorang yang sombong, ujiannya adalah kerendahan hati. Bagi seorang yang tamak, ujiannya adalah kekayaan. Bagi seorang yang pandai ujiannya adalah pengetahuan. Untuk bagian yang kedua ini, tidak semua anggota Pandawa menyadarinya. Drupadi tidak menyadari bahwa ujian baginya adalah cinta. Demikian pula halnya Nakula, Sadewa, Arjuna dan Bima yang tidak menyadari bahwa ujian bagi mereka adalah perasaan mereka sendiri yang menilai bahwa mereka adalah yang tercepat, terbaik dan terkuat di antara anggota Pandawa lainnya. Yang ketiga, berbeda dengan Ujian Akhir Nasional, ujian kenaikan tingkat, atau fit and proper test, ujian dalam kehidupan ini tidaklah kita ketahui saatnya demikian pula tidaklah kita ketahui siapa atau apa yang menguji kita. Di sinilah Yudistira menunjukkan kemurniannya. Ia tidak peduli apakah itu hanya seekor anjing, ia tetap memperlakukannya dengan hormat. Demikian pula saat dewata memperlihatkan ketidakadilan dengan menunjukkan para Kurawa yang sedang bersenang-senang dan sebaliknya para Pandawa disiksa, Yudistira tetap bersikap rendah hati, bijak, dan yakin terhadap keadilan para dewa.
Yudistira pun menyapa mereka dengan tulus. Pemandangan berikutnya sungguh menakjubkan, Yudistira menyaksikan para adik-adiknya sedang disiksa dan dihukum. Padahal selama di dunia mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk membela kebenaran dan keadilan. Namun Yudistira tidak memprotes keputusan dewata tersebut. Bahkan ia menyanggupi tinggal di neraka asalkan bisa mendampingi adik-adiknya. Dewa Indra pun bertanya, mengapa ia tidak mempertanyakan hadiah bagi para Kurawa dan hukuman bagi para Pandawa? Yudistira pun menjawab dengan bijak, bahwa para dewa tentu punya penilaian tersendiri dan sebaik apa pun para Pandawa, pasti ada kesalahan yang pernah mereka lakukan. Sebaliknya, seburuk apa pun para Kurawa, pasti ada kebaikan yang pernah mereka lakukan. Hukuman bagi para Pandawa tidak ada apaapanya dibandingkan kesenangan yang akan mereka rasakan nanti. Sebaliknya, kesenangan para Kurawa tidak ada apaapanya dibandingkan dengan hukuman yang akan mereka alami. Indra pun sangat senang dengan jawaban Yuidistira dan kemudian adik-adiknya dibebaskan serta derajat mereka dinaikkan di hadapan para dewa.
Dari cuplikan bagian akhir kisah Mahabrata ini, kita bisa mempelajari tiga hal. Yang pertama, untuk setiap tingkatan kehidupan, manusia mengalami ujian. Bagi anak sekolah dasar, ada ujian untuk masuk ke sekolah menengah. Bagi karyawan perusahaan, ada ujian untuk dipromosikan. Demikian pula dalam dimensi-dimensi kehidupan. Ada ujian untuk menjadi orang sukses, ada ujian untuk menjadi orang terkenal, dan ada pula ujian untuk menjadi orang bijak. Untuk pembelajaran yang pertama ini semua anggota Pandawa menyadarinya. Mereka paham betul bahwa untuk bisa masuk ke kahyangan secara raga, mereka harus menaklukkan puncak himalaya. Yang kedua, setiap orang menghadapi dimensi ujian mereka masing-masing. Bagi seorang yang sombong, ujiannya adalah kerendahan hati. Bagi seorang yang tamak, ujiannya adalah kekayaan. Bagi seorang yang pandai ujiannya adalah pengetahuan. Untuk bagian yang kedua ini, tidak semua anggota Pandawa menyadarinya. Drupadi tidak menyadari bahwa ujian baginya adalah cinta. Demikian pula halnya Nakula, Sadewa, Arjuna dan Bima yang tidak menyadari bahwa ujian bagi mereka adalah perasaan mereka sendiri yang menilai bahwa mereka adalah yang tercepat, terbaik dan terkuat di antara anggota Pandawa lainnya. Yang ketiga, berbeda dengan Ujian Akhir Nasional, ujian kenaikan tingkat, atau fit and proper test, ujian dalam kehidupan ini tidaklah kita ketahui saatnya demikian pula tidaklah kita ketahui siapa atau apa yang menguji kita. Di sinilah Yudistira menunjukkan kemurniannya. Ia tidak peduli apakah itu hanya seekor anjing, ia tetap memperlakukannya dengan hormat. Demikian pula saat dewata memperlihatkan ketidakadilan dengan menunjukkan para Kurawa yang sedang bersenang-senang dan sebaliknya para Pandawa disiksa, Yudistira tetap bersikap rendah hati, bijak, dan yakin terhadap keadilan para dewa.
Tentu saja pada dasarnya kita tidak senang diuji. Namun kita pun harus menyadari bahwa ketidaksenangan itu pun sesungguhnya merupakan suatu ujian. Saya jadi teringat kisah sebutir mutiara. Mutiara yang sangat indah dan mahal harganya, sesungguhnya adalah kumpulan calcium carbonate dan conchiolin yang dikeluarkan oleh kerang ketika ada benda asing masuk ke tubuhnya. Setiap kali benda asing masuk ke tubuh kerang, kerang akan merasa kesakitan. Untuk menahan rasa sakit itu, kerang mengeluarkan kedua zat tersebut. Proses menyakitkan ini terjadi berulang-ulang sampai akhirnya terbentuklah mutiara yang sangat indah. Tanpa rasa sakit tersebut, kerang tidak akan bisa menghasilkan mutiara yang indah. Hal yang sama terjadi pula dengan emas dan besi. Semakin tinggi suhu pembakaran emas, maka semakin murni emas yang dihasilkan. Dan semakin panas suhu pada saat besi ditempa, semakin kuat pula besi itu jadinya.
Satu hal yang perlu kita waspadai adalah api yang memurnikan kita dan besi yang menempa kita, kerap kali adalah hal-hal kecil yang kita abaikan selama ini. Sebuah saran kecil dari teman kita, sebuah pertanyaan dari bawahan kita, sebuah inisiatif dari pesaing kita, sebuah ejekan dari lawan kita, sebuah teguran dari atasan kita, sebuah komplain dari pelanggan kita, sebuah keluhan dari istri kita, dan sebuah tangisan dari anak kita mungkin adalah api pemurni dan besi tempa bagi kita. Bila hal-hal tersebut kita abaikan, maka kita tidak akan pernah mencapai the next level dalam hidup kita. Apakah Anda bercita-cita atau bahkan berencana mencapai tingkat yang lebih tinggi? Perhatikanlah sekeliling Anda! Ssst....! Ujian bagi Anda sedang berlangsung.
Oleh : Jemy V Confido
Oleh : Jemy V Confido
Link ke artikel ini: https://pakarnusantara.blogspot.com/2015/07/to-next-level-ujian-ke-tingkat-berikutnya.html
Jangan lupa untuk membagikan artikel To The Next Level Ujian ke Tingkat Berikutnya ini jika bermanfaat bagi Sobat.
Ingin pasang artikel atau beriklan? kunjungi halaman ini Pasang Iklan
Post a Comment Blogger Facebook